Menunda?

Rina
3 min readSep 10, 2024

--

Source

Beberapa waktu lalu, aku sempat bertemu dengan seorang relasi dari temanku. Kami ngobrolin banyak hal terkait bisnis, terutama peran teknologi di dalamnya.

Tak disangka, rupanya temanku banyak cerita tentang diriku kepada relasinya itu sejak lama. Mulai dari hobby-ku yang katanya suka menulis, hingga kebiasaanku yang menurutnya sering bekerja overtime.

Dalam sesi obrolan tersebut, topik yang kami bahas tidak hanya terbatas seputar bisnis. Menariknya, obrolan kami semakin dalam ketika pembicaraan beralih pada hal-hal filosofis tentang kehidupan.

Kami berbicara tentang mengejar mimpi, usaha keras, hingga merasakan lelah secara fisik dan psikis sebelum akhirnya bisa meraih apa yang diinginkan. Semua itu terasa seperti refleksi dari perjalanan hidupku selama ini — berusaha sebaik mungkin untuk mencapai sesuatu dengan tangan sendiri.

Seperti biasa, diskusi yang awalnya ringan bisa berubah menjadi perenungan mendalam tentang hidup. Dari sana, obrolan berkembang hingga hal-hal yang lebih personal, termasuk tentang perjalanan pendidikan dan rencana masa depan.

Di tengah-tengah diskusi, relasi temanku tiba-tiba menawarkanku sebuah kesempatan yang tak terduga: lanjut studi dengan biaya yang ditanggung olehnya.

Tawaran itu langsung membuat pikiranku bergejolak. Bukankah ini kesempatan emas? Sebuah pintu terbuka lebar untuk melanjutkan pendidikan tanpa harus khawatir tentang biaya. Namun, perasaan di dalam diriku justru berbisik sebaliknya.

Aku berpikir keras, mencoba meresapi apakah ini yang benar-benar aku inginkan. Tawaran ini terdengar sangat menggoda, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Aku menyadari bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing.

Di satu sisi, tawaran ini bisa menjadi jalan yang mudah dan nyaman. Namun, di sisi lain, aku merasa seperti sedang berdiri di atas dua pilihan yang sama-sama berat. Aku takut merasa berhutang budi, terikat dengan harapan dan ekspektasi yang tidak aku buat sendiri.

Aku ingin lanjut studi, itu sudah pasti. Tapi aku ingin melakukannya dengan usahaku sendiri, dengan perjuangan yang kujalani sepenuh hati.

Aku ingin merasakan setiap prosesnya, dari mengisi formulir beasiswa, mengikuti seleksi, hingga berjuang untuk lolos.

Aku ingin nanti, saat aku duduk di bangku kuliah lagi, aku bisa bangga bahwa aku ada di sana bukan karena ‘diberikan’, tapi karena aku ‘mengambil’ dengan kerja keras.

Keputusan ini tentu tidak mudah. Ada kalanya aku bertanya-tanya, apakah aku sedang menyia-nyiakan kesempatan? Apakah aku terlalu keras kepala dengan idealisme ini?

Tapi kemudian aku ingat satu hal: hidup ini adalah tentang pilihan-pilihan yang kita buat, dan setiap pilihan membentuk siapa diri kita. Aku memilih untuk menunda.

Bukan menunda mimpi, tapi menunda sebuah kemudahan yang ditawarkan orang lain. Karena aku percaya, pada akhirnya, aku ingin tiba di sana dengan caraku sendiri — dengan langkah-langkah kecil yang konsisten, meski kadang berat dan melelahkan.

Dan, mungkin inilah arti dari menunda yang sebenarnya: memberi jeda pada diri untuk benar-benar memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil adalah murni karena keinginan kita sendiri, bukan karena tawaran yang datang begitu saja.

Aku percaya, perjuangan yang kita jalani dengan sepenuh hati akan selalu memberikan hasil yang lebih berarti.

Sehingga, meskipun jalanku mungkin sedikit lebih panjang dan berliku, aku yakin ini adalah jalan yang tepat untukku.

Karena di setiap peluh dan langkah kecil ini, aku sedang menuliskan kisahku sendiri, dengan tinta perjuangan yang tidak bisa digantikan oleh apa pun, bahkan oleh tawaran yang terlihat begitu menggiurkan sekalipun.

--

--

No responses yet